Magister Sosiologi UMM Kerja Sama dengan MGMP Sosiologi Kabupaten Malang Akan Cetak Siswa SMA Jadi Aktor Pemberdayaan Lokal
MALANG – Mampukah siswa SMA menjadi agen perubahan di lingkungan mereka? Pertanyaan ini menjadi pemantik semangat bagi Magister Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sosiologi Kabupaten Malang untuk menyelenggarakan kegiatan bersama. Kedua organisasi tersebut tidak hanya ingin membekali siswa dengan teori, tetapi juga mendorong mereka terlibat langsung dalam pemberdayaan masyarakat.
Dalam memahami kebutuhan guru dalam mengajarkan materi pemberdayaan, dilakukan survei sederhana yang menunjukkan hasil menarik. Data survei Magister Sosiologi UMM yang mendeskripsikan kebutuhan Guru Sosiologi SMA di Kabupaten Malang pada materi pemberdayaan, kebutuhan pertama adalah memahami sejarah, batasan, dan aktor pemberdayaan sebanyak 51,4%. Kebutuhan kedua, memahami strategi pemberdayaan Masyarakat sekitar 68,6%. Terakhir, pada kebutuhan ketiga, mereka menyatakan bahwa target profil anak didik dalam mempelajari pemberdayaan agar menjadi aktivis komunitas, sebanyak 54,3%.
Sebagian besar guru lebih tertarik pada aspek praktis, terutama dalam memahami strategi pemberdayaan yang bisa diterapkan langsung di lingkungan sekitar. Mereka tidak terlalu fokus pada teori, definisi, atau paradigma pemberdayaan, tetapi ingin memastikan bahwa siswa mereka mampu menjadi aktor penggerak dalam komunitas.
Bahkan, banyak guru berharap anak didiknya bisa menjadi aktivis sosial yang berperan dalam perubahan nyata di masyarakat.
Survei tersebut menjadi dasar dalam penyegaran materi yang disampaikan Rachmad K. Dwi Susilo, Ph.D., dosen Universitas Muhammadiyah Malang di SMAN 1 Bululawang, Sabtu (15/2/2025).
Kegiatan tersebut dihadiri 35 guru Sosiologi dari berbagai SMA di Kabupaten Malang. Merespons hasil survei tersebut, Rachmad K. Dwi Susilo menyatakan, pemberdayaan bukan sekedar teori di buku.
“Ini merupakan ranah praktis yang harus diterapkan langsung di masyarakat. Keingintahuan guru pada strategi pemberdayaan menunjukkan pendekatan yang lebih demokratis dalam pendidikan,” ungkap pakar Sosiologi ini.
Rachmad menilai, meningkatnya minat guru terhadap strategi pemberdayaan menunjukkan pendekatan yang lebih demokratis dalam pendidikan sosiologi.
“Menariknya, guru-guru lebih ingin tahu tentang strategi pemberdayaan dibandingkan membahas definisi atau perspektifnya. Ini pertanda baik karena pendidikan sosiologi semakin membumi dan bisa langsung diterapkan,” ujarnya.
Sementara itu, Hari Iswanto, guru sosiologi dari SMAN 1 Lawang menambahkan, sosiologi tidak hanya bisa berkontribusi dalam dunia akademik, tetapi juga memiliki peran besar dalam dunia bisnis dan ekonomi. Ia mencontohkan, bagaimana seorang sosiolog bisa berperan sebagai konsultan sosial dan bisnis, termasuk dalam pengembangan organisasi berbasis komunitas seperti sektor peternakan dan usaha kecil.
“Sosiologi bukan hanya ilmu sosial yang dipelajari di kelas, tetapi juga bisa menjadi alat untuk membangun dan mengembangkan usaha. Seorang sosiolog bisa membantu manajemen komunitas, membentuk korporasi sosial, hingga mendampingi masyarakat dalam pengelolaan bisnis berbasis pemberdayaan,” jelasnya.
Namun, di tengah euforia pemanfaatan sosiologi dalam praktik nyata, Rachmad K. Dwi Susilo mengingatkan bahwa tidak salah jika sosiologi dibaca secara praktis. “Tapi jangan lupa, Sosiologi juga ilmu teoritis. Pemahaman teoritis dan praktis harus berjalan beriringan,” tegasnya.
Dari hasil survei hingga diskusi yang berlangsung, kini sosiologi bukan lagi sekadar mata pelajaran yang diajarkan di ruang kelas, tetapi bisa menjadi alat pemberdayaan bagi siswa dan masyarakat. Dengan pemahaman lebih praktis, siswa SMA diharapkan tidak hanya memahami teori sosial, tetapi juga bisa menjadi aktor perubahan di lingkungan mereka sendiri.(Arumi)