Membedah Teater Tradisioanal, Mengenal Reyog Ponorogo
Resensi Buku
Judul Buku | : | Teater Tradisional Reyog Ponorogo |
Penulis | : | Uswatun Hasanah |
Pengantar | : | Dr Muhammad Rohmadi M.Hum |
Penerbit | : | Yuma Pustaka Kartosuro |
Cetakan | : | Cetakan Kedua, September 2017 |
Tebal | : | xx + 206 hlm |
ISBN | : | 978-602-6631-55-8 |
Alkisah, di Kerajaan Kediri ada seorang putri yang sangat cantik. Kecantikannya terkenal hingga ke negara lain. Putri itu Bernama Dyah Ayu Dewi Sanggalangit. Dewi Sanggalangit sudah dilamar banyak lelaki tampan, tetapi dia selalu menolaknya. Dewi Sanggalangit mengajukan beberapa syarat kepada lelaki yang meminangnya. Di kerajaan lain, ada seorang raja yang bergelar Prabu Kelana Sewandana yang mencintai Dewi Sanggalangit. Dia berusaha memenuhi syarat yang diajaukan Dewi Sanggalangit.
Selanjutnya seperti apa ending dari kisah itu? Tentu saja Anda harus membaca dalam buku berjudul Teater Tradisional Reyog Ponorogo, karya Uswatun Hasanah, tepatnya halaman 7 sampai halaman 39.
Buku yang merupakan hasil penelitian si penulis dan mengantarnya menjadi Doktor atau Pendidikan S3 di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Pendidikan Bahasa Indonesia tahun 2015. Buku yang merupakan disertasi ini aslinya berjudul “Pengembangan Buku Teks Drama Berbasis Teater Tradisional Reyog Ponorogo.”
Kembali ke kisah Dewi Sanggalangit danPrabu Kelana Swandana tersebut, si penulis buku ini juga memaparkan bahwa cerita tersebut memiliki banyak versi. Penulis meneliti, setidaknya ada tiga versi yang berkembang di masyarakat. Versi Bantarangin, versi Ki Ageng Kutu Suryongalam, dan versi Betara Katong. Masing-masing versi berkembang di daerah masing-masing. Dan keterkaitan versi yang ada, berhubungan dengan pendirian dan keberadaan Kabupaten Ponorogo sekarang ini. Di mana yang paling benar, tentu saja butuh penelitian lebih mendalam.
Penulis sendiri memulai buku ini dari sejarah Reyog Ponorogo. Penyebutan Reyog sendiri sudah menimbulkan masalah sendiri. Yang benar, Reyog atau Reog? Karena, pada masa Bupati Markoem Singodimedjo, kata Reyog diubah menjadi Reog, seiring kebijakan pemerintah yang menghapus huruf Y. Kebijakan penghapusan Y, dalam Reyog tersebut didasarkan pada penelitian dalam Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Depdiknas pada tahun 1983.(Halaman 7).
Seiring perjalanan waktu, pemerintah Ponorogo menjadikan REOG, sebagai singkatan dari kata Resik, Endah, Omber, dan Girang Gumirang. Padahal, dalam Babad Ponorogo dijelaskan bahwa Reyog itu mereprestasikan makna teologis kultural masyarakat Ponorogo yang masih bernama Wengker waktu itu.
Keragaman Reyog tidak sekedar versi dengan daerah yang membesarkannya. Ragam lain yang muncul dari Reyog adalah dilihat dari segi konsep pertunjukan. Ada dua yang berkembang saat ini, yakni Reyog Festival dan Reyog Obyogan. Masyarakat Ponorogo menyebut bentuk pertunjukan Reyog “malam bulan Purnama” dan Festival Reyog sebagai bentuk pertunjukan yang serupa. Sedangkan pentas Reyog, yang dimainkan di desa-desa disebut sebagai Reyog Obyokan atau Reyog Desa. Reyog Obyokan biasanya dimainkan karena ada ‘tanggapan.’ Biasanya, ada yang mengundang untuk main, baik perorangan/individu, keluarga, desa, organisasi, atau kelompok masyarakat tertentu untuk mengisi acara khusus, seperti pernikahan, khitanan, selametan, bersih desa, rosulan, serta peristiwa penting lainnya.
Tempat pentasnya pun, bisa berubah-ubah, menyesuaikan dari tempat yang ada. Bisa di halaman sekolah, pinggir jalan, perempatan jalan, tanah lapang, dan lainnya. Arena pementasan juga dengan batas yang tidak begitu jelas, antara penonton dengan pemain. Selain itu, pentas Reyog Obyogan bisa juga disertai dengan arak-arakan.
Di sini, pola gerakan tari yang ditampilkan juga diwarnai dengan improvisasi. Para penari mencoba unsur “menggerakan tubuh” melakukan gerakan-gerakan “spontan” atau bahkan diam menunggu giliran, menunggu temannya atau hanya karena malas. Contoh yang memasukkan unsur ‘asing’ dalam tarian Reyog jenis ini di antaranya kendang jaipong, irama melayu, dangdut, lagu-lagu campursari, serta lagu-lagu doalanan yang diikuti dengan tarian sebagai respons terhadapnya.(Halaman 41).
Berbeda dengan Reyog Festival, biasanya dipentaskan dalam acara-acara resmi dan formal seperti Festival Reyog Nasional (FRN), penyambutan tamu pemerintah, dan peringatan malam bulan Purnama.
Buku yang terdiri empat bagian penting ini, memulai dari Teater Tradisional Reyog Ponorogo, Pementasan Drama Berbasis Reyog Ponorogo, Drama Berbasis Reyog Ponorogo, dan Penerapan Dalam Drama.
Pada Teater Tradisional Reyog Ponorogo, terkandung beberapa hal. Mulai dari pengertian teater tradisional, sejarah Reyog Ponorogo, hingga dua jenis teater tradisional Reyog Ponorogo, Reyog Obyog dan Reyog yang dimainkan dalam festival.
Sedangkan dalam Pementasan Drama Berbasis Reyog Ponorogo, mengenai tahap persiapan naskah Reyog Ponorogo, pemilihan peran, observasi, hingga menghafal dan berlatih memerankan dialog. Tidak hanya itu, melatih ketrampilan akting, hingga tahap pementasan.
Dalam Drama Berbasis Reyog Ponorogo, membicarakan naskah darama, pemain, sutradara, tata rias dan busaha, perlengkapan (property), tata pentas atau panggung (dekor), tata cahaya, hingga tata musik dan tata suara (Halaman 63-137). Drama tradisional ini unsur properti sangat penting. Kelengkapan memainkan peran penting, mulai dari Pecut Samandiman, Topeng Klono Sewandono, Topeng Bujangganong, Topeng Patrajaya dan PatraTholo, Barongan atau Dhadak Merak, Jaranan atau Eblek.
Demikian pula dengan tata musik dan tata surya dalam Reyog Ponoro, mulai dari terompet, kendang, ketipung, kethuk dan kenong, kempil, hingga angklung. Semua harus ada, untuk mendukung pementasan yang sempurna.(Halaman 136-143.
Terakhir, dan Penerapan Dalam Drama, yang merupakan pengertian drama, jenis drama hingga unsur-unsur drama, ada dalam halaman 145-184.
Dari semua hal tersebut, yang terpenting adalah penonton. Pertunjukan akan terlihat hidup dengan adanya penonton. Apalagi ada interaksi yang bagus, terutama respons dari penonton yang memberikan apresiasi penampilan Reyog.
Buku ini merupakan ‘pendalaman’ dari tesis penulis saat menempuh Pendidikan S2 Pascasarjana di Pascasarjana UNS Pendidikan Bahasa Indonesia tahun 2010 berjudul “Kajian Historis, Struktur dan Nilai Edukatif Teater Tradisional Reyog Ponorogo’. Tentu saja, dengan membaca buku ini, Anda akan paham lebih dalam soal Reyog yang ada dan berkembang di Ponorogo sebagai drama tradisional kebanggaan daerah tersebut.
Agak disayangkan, buku ini dibuat dengan warna hitam-putih, sehingga keaslian dan keindahan dari Reyog Ponorogo kurang tampil maksimal. Semua tahu, tarian dan pementasan Reyog Ponorogo didukung busana yang warna warni, dengan keelokan warna khasnya. Akan lebih sempurna, bila buku ini dibuat dengan cetak warna dengan foto-foto pendukung yang lebih artistif. Dengan begitu, buku ini tidak hanya menjadi kebanggaan penulis semata, tetapi juga bisa menjadi cinderamata yang menawan dari Pemerintah Kabupaten Ponorogo.
Terlepas dari kekurangan tersebut, buku ini layak dikoleksi dan dibaca untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai kebudayaan di nusantara. Semua tentu sangat paham, betapa banyak dan beragamnya kebudayaan di negeri ini, sehingga untuk mengetahui semuanya, sepanjang umur dibadan belum tentu cukup waktu. Dengan adanya buku semacam ini, tentu memudahkan kita, dan generasi mendatang paham dengan kebudayaan yang ada. Dan ujungnya, kita akan memiliki kebanggaan atas keragaman budaya di tanah air ini. Terima kasih.
Heru Setiyaka
Bekerja pada perusahaan konsultan media di Jakarta, Lulusan Magister Psikologi Pascasarjana Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta