Menjual Potensi Kota Lewat City Branding
Judul Buku : City Branding, Strategi Komunikasi dalam Memasarkan Potensi Daerah
Penulis : Dr Andre Rahmanto MSi
Penerbit : Empatdua Media (Kelompok Intrans Publishing)
Tahun : Cetakan Pertama, Juli 2020
218 Halaman (xiv + 204 halaman)
ISBN : 978-623-92074-1-0
Saat Jogja mengeluarkan branding Jogja Never Ending Asia, kota lain juga tidak mau kalah. Solo dikenal dengan branding The Spirit of Java, Semarang mengenalkan the Beauty of Asia, dan Surabaya dengan Sparkling Surabaya. Semuanya sebenarnya sama, mengenalkan branding dan ujung-ujungnya adalah jualan.
Jualan kota? Begitulah kira-kira. Kepada Siapa? Tidak lain, tiada bukan kepada investor. Mengapa begitu? Kurangnya awareness investor kepada kota tersebut. Oh iya, selain itu juga ada calon wisatawan yang diharapkan tertarik dan berkunjung ke kota-kota tersebut di atas.
Pertanyaan lain muncul, apakah kota lain tidak melakukan langkah yang sama? Menjual diri? Tentu jawaban sama, saat masalah utama yang dihadapi kabupaten atau kota di era otonomi daerah sekarang ini adalah berusaha meningkatan daya saing daerah sehingga potensi yang dimilikinya dapat tergarap dengan maksimal. Karena itu, upaya branding menjadi solusi yang tepat, dalam upaya mengangkat dirinya.
Tentu saja, kalau melihat fakta sekarang, bukan hanya kota-kota tersebut di atas yang melakukan itu. Boleh dikata, semua daerah melakukan langkah serupa. Bukan hanya di Pulau Jawa saja, tetapi juga di luar Jawa, semuanya berlomba untuk menarik investor, menarik wisatawan dalam dan luar negeri dan menjadikan daerahnya lebih maju dibanding kota lain.
Langkah city branding, sesuai dengan buku ini, sebagai komunikasi pemerintah. Strategi pemerintah daerah sekarang lebih banyak pada upaya menguatkan peran public relations (PR) dan langkah catur PR banyak dipakai agar dirinya (kota atau kabupaten) tersebut lebih terekspos. Praktik PR yang banyak dipakai adalah Model Publicity atau Press Agentry, Model Public Information, Model Two Way Asymmetrical, dan model Two Way Symmetrical (halaman 15).
Kotler dalam bukunya Marketing Places (1993) mengungkapkan, citra sebuah tempat sebetulnya dapat terbentuk dari sekumpulan keyakinan, ide, impresi, yang didapatkan seseorang mengenai daerah tersebut. Citra merupakan perwujudan dari sekian banyak asosiasi, ditambah potongan informasi yang berkaitan dengan tempat tersebut. Dalam buku ini (halaman 37), citra daerah dapat dikomunikasikan dan dibentuk setidaknya melalui tiga strategi, yakni pertama, slogan dan tema, kedua adalah simbul visual, dan ketiga, event dan sponsorship. Dengan memengaruhi kalangan intelektual, pemerhati publik, dan pembuat opini, suatu event akan menjadi sarana image communication yang efektif (Hermawan Kertajaya dalam bukunya Attracting Tourist, Trader, Investor Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi, 2005).
Andre mengungkapkan dalam buku ini, bahwa Solo sebagai kota kecil yang ingin cepat dikenal, strategi yang dijalankan adalah memperbanyak event, yang didahului dengan edukasi dan promosi pada masyarakat luas, akan aneka event yang digelar.
Dikatakan, tidak cukup hanya dengan menggelar event sebenarnya. Harus ada langkah lain, yakni melakukan penataan kota. Bentuknya adalah mengubah wajah kota secara kota agar terlihat lebih cantik. Kota Solo telah melakukan itu dengan menata Kawasan Ngarsopura serta beberapa ruang public di Kota Solo juga telah dibangun atau ditata, di antaranya city walk di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, Taman Balekambang, Kawasan Monumen 45 Banjarsari, Kawasan Stadion Manahan, dan Bantaran Sungai Kalianyar (Taman Air Tirtonadi dan Taman Sekartaji) serta taman-taman lain di Kota Solo (halaman 95).
Wali kota saat itu, Joko Widodo mengatakan, penataan beberapa Kawasan di Kota Solo tersebut bertujuan untuk membuat kota yang nyaman bagi warga sekaligus wisatawan. Ia menambahkan semua pembangunan ruang public tersebut diniatkan agar bisa menjadi tempat bertemu (meeting place) yang hidup dan popular bagi warga Kota Solo. Dalam perencanaan global, pembangunan ruang public adalah bagian dari penataan wajah kota, membuat Kota Solo menjadi lebih bersih, sehat, rapi, indah, dan yang lebih penting lagi adalah membuatnya lebih nyaman untuk dihuni oleh warga kota maupun didatangi para wisatawan, termasuk juga para investor.
Dua hal tersebut, menggelar aneka event dan mempercantik diri melalui penataan kota, merupakan implementasi dari branding kota tersebut. Semuanya telah berhasil dilaksanakan dan menjadikan Kota Solo sebagai salah satu kota yang melejit, sejajar dengan kota besar lain seperti Kota Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, dari sisi famous-nya.
Andre juga melihat branding merupakan kontruksi sosial, sebagaimana teori kontruksi sosial atau realitas-nya Berger and Luckmann. Ada tiga macam realitas social yang ada, yaitu realitas subjektif, realitas objektif, dan realitas simbolik. Dalam konteks buku ini, dikatakan bahwa melalui sebuah proses yang terjadi di dalam masyarakat, branding sebuah kota dapat menjadi sebuah realitas yang objektif. Proses tersebut antara lain terbentuk melalui interaksi di antara para pelaku branding maupun pengguna Bahasa serta simbol-simbol lain sebagai alat untuk membentuk brand kota.
Tidak hanya dari sisi pemangku kebijakan saja, sisi wisatawan juga dikulik dalam buku yang dibagi dalam 11 bab tersebut. Pada bab pertama, penulis mengungkapkan soal urgensi komunikasi city branding, disusul bab kedua dan ketiga, masing-masing membahas city branding sebagai komunikasi pemerintah dan city branding dan komunikasi pemasaran.
Bab empat buku ini, membicarakan soal city branding dan pembentukan citra kota serta bab lima mengenai branding sebagai inovasi pemimpin. Selanjutnya bab enam dan tujuh, berbicara mengenai momentum city branding dan event penataan kota sebagai implementasi branding. Buku setebal 218 halaman ini juga membicarakan branding sebagai kontruksi social (bab 8) dan relasi pemerintah dan pemangku kepentingan (bab 9). Dua bab terakhir, bab 10 dan bab 11, mengangkat citra kota dalam pengalaman wisatawan dan komparasi praktik city branding.
Senarai kata-kata terangkai cukup menarik dalam buku ini. Adapun penelitian yang dilakukan Andre menggunakan pendekatan kualitatif-konstruktivis, yakni memadukan secara teoritik dan praktik pelaksanaan city branding. Tentu saja, Andre banyak menjadikan Solo sebagai sumber utama, dengan perbandingan beberapa kota di Jawa Tengah lainnya. Yakni, Semarang dan Kota Pekalongan. Tentu ada perbedaan-perbedaan yang mendasar dari temuan penelitiannya, meski ada benang merah yang sama, dari kota-kota tersebut.
Buku yang ditulis oleh Andre Rahmanto ini merupakan pengejawantahan dari disertasi saat menempuh Pendidikan doktor di Bandung. Melalui perubahan Bahasa dan sedikit bahasan yang mendalam, buku ini hadir di tengah pembaca dan layak dimiliki. Terutama mereka para praktisi media, praktisi konsultan media, pelaku kehumasan baik di pemerintah maupun institusi swasta, hingga mahasiswa dan mereka tertarik pada bidang kehumasan dan perkotaan. Dua hal tersebut, kehumasan dan perkotaan bisa disatukan dan diselaraskan, agar menjadi ‘senjata’ tepat dalam memasarkan sesuatu, dalam kasus ini adalah kota.
Sang penulis menegaskan bahwa branding sebuah kota merupakan inovasi pemimpin yang memegang kendali atas kota tersebut. Karenanya, tidak bisa semua kota disamakan. Hanya pemimpin yang memiliki visi misi dan mampu melihat kekuarangan dan kelebihan daerah yang dipimpinnya saja, yang selanjut bergerak mewujudkan ide dan gagasan agar daerah yang dipimpinnya tersebut lebih maju. Bisa jadi, seorang pemimpin itu benar-benar cerdas, Cemerlang, atau seorang biasa-biasa saja. Semuanya kembali pada masing-masing pemimpin tersebut, dan niatan memimpin sebuah daerah. ****
Heru Setiyaka, Lulusan Pascasarjana Psikologu Universitas Ahmah Dahlan (UAD) Yogyakarta, bekerja pada perusahaan konsultan, wira-wiri Yogyakarta – Jakarta