Merasai Bersepeda Lawasan Bersama
Resensi Buku
Judul Buku | : | Simplex Nganggo Berko |
Penulis | : | Hermanu |
Tim Kerja | : | J Sindhunata dkk |
Penerbit | : | Bentara Budaya Yogyakarta |
Cetakan | : | Cetakan Pertama, 2013 |
Tebal | : | V + 259 halaman |
ISBN | : | 978-602-186-856-0 |
Simplex, tentu Anda penasaran dengan kata itu. Dari kata simple? atau apa? Saya juga tidak bisa menjawabnya, soal asal-usul kata itu. Simplex sendiri adalah merek sepeda. Nah, bagi penggemar sepeda lawas, tentu kata simplex tidak akan luput dari pengamatan mereka.
Simplex, dari penjelasan dalam buku berjudul Simplex Nganggo Berko ini, merupakan merek sepeda yang dibuat di Kota Amsterdam, Belanda. Pabrik itu didirikan tahun 1887 (halaman 45). Letaknya di Utrecht dan rencana semula dari para pendirinya adalah memproduksi mesin-mesin otomatis. Yakni, mesin coklat atau mesin parfum yang dikenal luas, tempat memperoleh sejumlah tertentu dari barang-barang mewah ini dengan sekeping uang 2,5 sen atau 10 sen. Sejarah soal pabrik Simplex berlanjut hingga perpindahan ke Amsterdam, tepatnya Overtoom 85. Beruntung sekali, penyusun mendapatkan bantuan dari P.J.M. Leeuwenberg sebagai direktur dan W.K. van Erven Dorens sebagai insinyur pabrik.
Juga, perkembangan industri sepeda Simplex setelah tahun 1898 didirikan oleh Piet Leeuwenberg dari Delf. Termasuk sempat berhenti kareng perang dunia, dan setelahnya bergabung dngan Locomotief pada tahun 1960. Tahun 1968, Gazelle mengambil alih perusahaan Simplex. Tahun 2000, Gazelle menjual nama merk Simplex pada sebuah gabungan pembeli roda dua dari Jerman (ZEG) yang juga aktif di Belanda.
Itulah sebagian sejarah Simplex, merek sepeda dari Belanda. Tidak hanya itu saja, buku yang hadir bersamaan dengan pameran sepeda lawasan tersebut, menghadirkan banyak ragam terkait dengan sepeda Simplex. Termasuk di dalamnya ada sebuah bait dalam gending dolanan anak yang popular di era 1950-an, yakni Simplex Nganggo Berko. Akhirnya, oleh penyusun dijadikan judul buku ini. Gending dolanan sendiri berjudul Kring-Kring. Dikarang oleh empu gending Raden Cajetanus Hardjosoebroto (1905-1986) yang berdomisili di Gondomanan, Yogyakarta, teks gending ‘Kring-Kring” itu :
Kring-kring gumaguse
Nunggang pit kring den baguse
Mentas saka took
Merk simplek nganggo berko
Simplek nganggo berko
Simplek nganggo berko
Aja menga mengo
Aja menga mengo
Yen nabrak angkring saoto
Teks ini juga dihadirkan untuk mengantar isi buku ini. Mengapa buku ini pula hadir, tentu sebagai orang Yogyakarta yang peduli dengan problematika kemacetan kota, di mana penyusun melihat sisi lain, menjadi kota yang mudah marah. Masyarakat banyak kehilangan kesabarannya. Padahal, ada sisi lain dari kota ini, yakni bahwa ada sisi kesantaian dan perlunya menemukan waktu luang. Santai dan waktu luang bukanlah suatu yang negatif. Dua hal itu merupakan kebutuhan yang multak ada, jika manusia mau hidup sehat. Dua hal itu, terwakilkan melalui sepeda (lawasan), di tengah semua hal yang serba cepat.
Membicarakan buku ini, ada 21 sub judul dalam daftar isi. Termasuk pengantar, juga tulisan berkaitan pameran sepeda di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), foto pembukaan pameran Simplex Nganggo berko, hingga daftar peserta, daftar pustaka dan ucapan terima kasih.
Para penyusun buku ini memang ada yang dari kalangan rohaniawan Katolik. Tidak bisa dipungkiri, pada masa itu (penjajahan hingga kemerdekaan RI), para rohaniawan Katolik tidak bisa dipisahkan dari sepeda (lawasan). Mereka memanfaatkan untuk mendukung kegiatan keseharian mereka, terkait sosial dan keagamaan. Bahkan, hingga kini, sebagian dari mereka masih memanfaatkan di daerah-daerah, semacam bruder dan kepasturan di Purworejo dan tempat lain. Sepeda dimanfaatkan untuk mendukung mereka berbelanja ke pasar, mendatangi jemaat yang sakit untuk mendukung doa, atau kegiatan lain, di mana jarak tidak terlalu jauh. Memang, seiring bergulirnya waktu, sepeda mulai ditinggalkan. Tidak hanya dari kalangan rohaniawan saja, tetapi juga masyarakat umum. Pilihan sepeda motor atau mobil dengan alas an lebih cepat, lebih gesit dan tidak membuang energi. Bersepeda hanyalah untuk berolahraga. Bagi mereka yang menyimpan sepeda lawasan, hanya bagian dari hobi saja.
Dalam buku ini, membaca riwayat industry sepeda Simpex setelah taun 1898 (halaman 51, yang terjemahan bahasa Indonesia, karena penyusun menempatkan bahasa asli Belanda, di sub judul sebelumnya), juga riwayat hidup pembuat gending Kring-Kring yang berisi soal sepeda Simplex, pembaca akan diajak untuk melihat karya seni rupa Simplex (hal 55). Yang dipasang adalah buah karya Melodia, Susilo Budi Purwanto, Slamet Riadi, Wilmar Syahnur, Hermanu, dan Pramono Pinunggul. Karya mereka pula yang dipamerkan di BBY. Selanjutnya, foto sepeda Simplex (65). Foto ini diambil dari koleksi milik Agus Susanto, Amiluhur Soeroso, Cecep, Effendi Wiyono JR, Erwin, Heru, Johan Prawiro Sosrodiharjo, Ngatijo, Sunar Handoko, Well, Yudi Marcopolo, dr Didi, Towil, Rustam, Handoko (Semarang), Bido, Winuryo (Pekalongan). Dari koleksi mereka, kita bisa tahu bahwa sepeda itu memiliki jenis masing-masing dengan tahun berbeda pula. Ada Simplex Cycloide Heren (1935), Simplex Neo (1935), Simplex Heren 65 cm (1940-an), Simplex anak (1950-1960-an), Simplex Dames All Black (1937), Simplex Dames Torpedo (1947), Simplex Priejstwiel (1940-an), Simplex Cycloide Heren (1930-an), Simplex Neo Heren (1940-an), Simplex Kruisframe (1950-an), Simplex Swiefits (1940-an), Becak Simplex (1940), Simplex Cycloide (1935-an), Simplex Sport de Elite (1950-1956), dan Simplex Victory (1955). Ini baru sebagian. Buku ini juga menyertakan foto sepeda jenis Bones Sekker dari Amerika, dan foto Gaya Tempo Dulu (81).
Memang, membicarakan sepeda itu tidak sebatas Simplex. Karena, ada merek lain yang juga hadir di tengah masyarakat, di era 50-an sampai sekarang, seiring produk dari Tiongkok (Phoenix) yang menguasai. Ada merek Gazella, Teha, Fongers dan lainnya.
Dalam buku ini, juga dihadirkan tulisan dari tiga kolektor sepeda. Amiluhur Soeroso mengangkat tema Sepeda (Tua) dan Nilai-Nilainya. Dalam tulisannya, Amiluhur bercerita sepeda tua banyak dikonotasikan lekat pda merek yang diproduksi sebelum tahun 1960-an. Seperti Simplex, Gazelle, Fongers, Raleigh, Humber, Sunbeam, dan lainnya. Dalam sepeda tua, terkandung nilai-nilai yang melekat. Yakni, pertama, nilai estetika (keindahan dan harmoni). Kedua, nilai spiritual (pengetahuan, pencerahan, dan wawasan), ketiga, nilai sosial (hubungan dengan sesama, perasaan, memiliki identitas), keempat, nilai sejarah (hubungan dengan masa lalu). Nilai kesejarahan terkait dengan peristiwa, tokoh, tempat dan waktu di masa lalu yang masih bertahan dan terpelihara hingga sekarang. Kelima, adalah nilai simbolis (pembawa atau penyimpan pesan), dan terakhir, ke enam, nilai keaslian (integritas).
Selain itu, ada juga nilai ekonomis yang diterima pengguna karena menikmatinya. Di dalam nilai ekonomis, ada juga kandungan nilai lain. Yaitu, pertama, nilai eksistensi. Kedua, nilai pilihan (option), dan terakhir, ketiga, nilai warisan (besquest).
Sedangkan Yudi Marcopolo berbicara mengenai Simplex Cycloide Rem Tromol. Dalam tulisannya, Yudi focus membicarakan sepeda Simplex Cyloide. Jenis sepeda ini adalah yang memakair em tromol model ungkitan rem berbentuk huruf C atau di daerah Jawa Timur para penggemar sepeda Simplex member nama tarikan model clurit. Sedangkan di Jawa Tengah, menyebut sebagai rem model bokong semar. Di negeri Belanda sendiri, mereka menyebut tipe tromol awal pengungkit model huruf C. menariknya, tromol jenis ini masih saja berfungsi normal. System ini dianggap sebagai puncak keunggulan teknologi sepeda Simplex, dan selanjutnya semua pabrik sepeda yang ada menggunakan teknologi yang sama. Tulisan itu juga berbicara mengenai perkembangan teknologi sepeda di Belanda. Penulis cukup menguasai sejarahnya.
Adapun, tulisan Rustam Alamsyah dengan judul Simplexer, ia membagi tiga kelompok orang. Pertama, orang suka sepeda; kedua, orang suka bersepeda, dan ketiga, orang suka sepeda dan bersepeda. Tiga kelompok itu memiliki kelebihan masing-masing, dan tinggal di mana masuk di dalamnya. Satu tulisan diambil dari forum penggemar Simplex, berjudul Simplex oleh Andyt Andrian-Simlexforum. Isinya, mengenai Simplex Luxe 251276, Neo Dames Torpedo eks Pedjuang, dan perbedaan Cycloide dengan Neo. Masih banyak tulisan mengenai jenis-jenis Simplex lainnya. Semuanya dipaparkan dengan gamblang di sini.
Di luar itu, ada juga cerita pendek, yang berkaitan dengan sepeda. Tentu saja, tulisan cerpen menambah menarik dan lebih banyak varian isi buku ini. Apalagi ditambah beberapa tembang yang cukup popular di masa silam.
Buku ini ditutup dengan foto-foto suasana pameran sepeda dan pendukungnya tersebut. Buku yang layak dikoleksi ini, hadir bersamaan dengan pameran sepeda di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), sehingga sulit ditemukan di toko buku umum. Tentu saja, ini menjadi kekurangan dari mereka yang ingin mengkoleksi buku ini. Buku ini patut diapresiasi keberadaannya. Tentu akan lebih lengkap lagi, bila buku mengenai sepeda lawasan tidak terpaku pada merek Simplex, juga berbicara seputar pameran sepeda. Terima Kasih. (***)
Heru Setiyaka, Praktisi Media