Mengkritisi Pudarnya Kesopanan Berpolitik di Negeri Ini
Resensi Buku
Judul Buku | : | Keadaban Politik, Membincang Kekuasaan Merawat Kewarasan |
Penulis | : | Luthfi J. Kurniawan |
Penerbit | : | Intrans Publishing Malang |
Cetakan | : | Cetakan Pertama, Januari 2021 |
Tebal | : | xxx + 168 halaman |
ISBN | : | 978-623-6709-06-1 |
Judul buku ini, Keadaban Politik, Membincang Kekuasaan Merawat Kewarasan. Bila mencari padanan kata keadaban di Tesaurus Bahasa Indonesia, ada 19 kata yang akan kita jumpai. Mari kita paparkan satu per satu. Mulai dari kesopanan, sopan santun, tata krama, etiket, kebiasaan, peradaban, kehalusan, kegebuan, kelembutan, kelicinan, kerapian, kebaikan, keelokan, kesantunan, ketertiban, kebagusan, kecermatan, kesempurnaan, dan ketelitian. Dari situ, bisa disimpulkan – masih menurut Tesaurus Bahasa Indonesia – sinomin kata keadaban adalah kesopanan, sopan santun, tata krama, etiket, dan kebiasaan.
Dalam berpolitik secara umum, dibutuhkan etika politik. Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang membahasa prinsip-prinsip moralitas politik. Mengapa itu dibutuhkan? Lalu apa kaitannya dengan keadaban politik di dalam negeri? Begitulah pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita.
Ingatkah beberapa tahun silam, saat seorang pemimpin sebuah provinsi selalu mempertontonkan kalimat kasar dan sumpah serapah di media? Bagaimana dia menghardik seorang ibu, dengan alasan sang ibu yang merupakan warganya dianggap melakukan sebuah ketidakjujuran. Mungkin, sang pemimpin itu di satu sisi ingin memperlihatkan kelugasan, ketegasan, dan kejujurannya. Namun, cara penyampaian yang tidak tepat, menjadikan dia seperti tidak memiliki ‘adab’ atau kesopanan tersebut. Juga ada contoh lain, seorang menteri yang setiap kunjungannya selalu memperlihatkan ‘kemarahan.’ Marah pada bawahan, pada mitra kerja, atau lembaga lain, di mana ujung-ujungnya dari pihaknya lah sumber kesalahan itu. Blame it on the rain, seperti itu kata kiasan yang muncul, menjadikan kambing hitam pihak lain.
Itu baru yang tersurat saja, bahwa kesopanan dan keadaban menjadi pemimpin perlu dipertanyakan. Ada sindiran halus semua pihak, bahwa seorang yang selalu marah-marah, sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan dirinya memimpin. Seperti itu sebenarnya, dan kita mesti menyadari hal tersebut, agar tidak salah memimpin.
Saat kita melihat negara ini saat ini, berbagai masalah yang sering mencuat di negeri ini, sangat erat dengan penyimpangan norma-norma dan nilai-nilai beretika. Korupsi, kejahatan, dan penindasan lainnya terjadi di berbagai komponen masyarakat. Mulai dari masyarakat biasa, para penguasa, hingga elit politik di negeri ini.
Secara kasat mata, masyarakat dipertontonkan sesuatu yang sudah jamak, vulgar, baik langsung maupun melalui media massa. Masyarakat terbiasa menyaksikan bagaimana antarpejabat saling hujat, saling membela diri seolah satu sama lainnya tidak merasa bersalah. Pejabat seenaknya mengeluarkan kata-kata kotor dan asusila, kata-kata yang tidak layak didengar, semuanya bergaung di berbagai media massa dan media sosial.
Di sisi lain, mereka yang merasa terpojok dan dibekingi dengan fulus, dengan mudahnya mengutak-atik hukum. Mereka memiliki super power kekuasaan dari menara gading yang tak bisa diraih oleh masyarakat awam. Publik sudah sering menyaksikan betapa ketidaknyamanan ucapan-ucapan tersebut dibiarkan para pejabat di negeri ini.
Pengajar di FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan Arifulhaq, S.Pd., M.Hum dalam tulisannya pernah menyinggung soal kesantunan dan politik, yang merupakan dua kata yang menyatu dan kini menjadi bagian tak terpisahkan dari pentas politik di tanah air. Citra politik seseorang bisa dirancang, dibangun, dan diperkuat melalui proses kognitif dan afektif. Semua kegiatannya tentu saja tak berlepas dari media massa. Salah satu bentuk pencitraan yang dilakukan oleh para elit politik adalah “Politik Santun”.
Arifulhaq yang juga Ketua PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) Deli Serdang ini melihat dari hari ke hari, ada kecenderungan bahwa kedewasaan berpolitik belum sepenuhnya terwujud. Reformasi yang digulirkan seharusnya menjadi motor lahirnya politisi-politisi yang matang karena kran politik tidak lagi tersumbat sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru, ternyata hanya menunjukkan pergantian elit tanpa perubahan perilaku. Reformasi tersebut malah menjadi bumerang, yakni menjadi ajang kebablasan di mana elit politiknya sibuk “bergulat” meributkan hal-hal yang tidak penting bahkan tidak etis.
Akhirnya tidak ada yang dapat dibanggakan oleh masyarakat terhadap elit politiknya yang tidak memiliki rasa peduli atau empati atas keadaan masyarakat. Alih-alih mengurus masyarakat, elit politik justru asyik dengan ide imajinatif yang ditawarkan kepada masyarakat terus memanfaatkan jurus aji mumpung yang dimilikinya.
Sebagaimana kumpulan tulisan-tulisan dalam buku ini, realitas yang terjadi dan arah yang sama dengan harapan dan tujuan menimbulkan pertanyaan mendalam dari penulis. Penulis memunculkan tulisan sebagai wujud gugatan intelektualnya atau dengan kata lain memprotes atas fakta yang terjadi, dari pascareformasi hingga kini. Dengan latar belakang pegiat sosial, tentu saja 24 tulisan itu bisa menjadi cermin, sekaligus menakar kondisi yang terjadi agar kita ikut concern dalam upaya perbaikan ke arah positif. Setidaknya, ikut prihatin.
Buku dengan tebal 198 ini dibagi dalam tiga bagian kumpulan tulisan. Bagian pertama, diisi 10 tulisan dan diberi judul Asa dan Realitas. Penulis memaparkan tulisan-tulisan mengenai harapan dan realitas yang terjadi. Penulis juga mengingatkan, bahwa “tradisi pertanggungjawaban pada publik merupakan bagian penting dalam membangun ruang publik yang bertanggung jawab. Mempraktikkan kebiasaan terbuka dan transparan tentulah tidak mudah, karena harus diiringi dengan keberanian melawan nafsu pribadi untuk mengalah pada egoisme yang memang selalu bersemayam dalam relung jiwa setiap manusia. Begitu mampu menundukkan dan mengelola nafsu, hal yang berkaitan dengan keterbukaan dalam ruang public tidaklah menjadi sebuah ketakutan, tetapi akan breubah menjadi sebuah kehormatan.” (Halaman 31-32).
Pada tulisan lain, masih pada bagian pertama, penulis juga menyinggung soal tidak adanya Etika yang dimilik para politikus Indonesia. Dengan judul Tuna Etika Para Politikus Indonesia, penulis memaparkan “Mengamati kejadian dalam alam politik Indonesia, kita akan menambah banyak praktik yang tidak lagi memperhatikan Etika public, salah satunya adalah praktik korupsi. Korupsi, yang dilakukan oleh pejabat public, telah menabrak kesadaran public tentang Etika dan moral. Kini, korupsi telah dianggap biasa, bukan lagi suatu Tindakan yang melanggar Etika. Padahal, sesungguhnya, Etika merupakan inti bagi seseorang dalam menjalani kehidupan dan korupsi merupakan pelanggaran Etika, bukan semata kesalahan hukum yang kemudian dapat diperbaharui dan dianggap telah menebus kesalahan dengan adanya vonis penjara.” (Halaman 66).
Bagian kedua, penulis memberi judul Ironi Kehidupan. Ada 9 tulisan yang dikumpulan. Pada intinya, penulis mempertanyakan dan menyatakan beberapa hal. Seperti benarkah Indonesia negara berkeadilan? Demikian pula, penulis menyatakan bahwa di negeri ini masih saja ada perdagangan hukum, dan ia merasakan adanya hukum yang masih tersandera oleh politik. Penulis juga mengkritik klan baru dalam pilihan kepala daerah, yang cukup marak di negeri ini. Contoh nyata, tidak adanya etika politik saat anak dan mantu presiden ikut maju pilkada di Solo dan Sumatera. Tidak hanya itu, famili wakil presiden, keluarga menteri, hingga anak Istri kepala daerah lama dan sudah dua periode ikut maju pilkada, untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Sangat ironis.
Secara aturan memang tidak ada yang dilanggar. Karena, partai politik (partai) bersepakat untuk mensiasatinya. Hanya, etika berpolitik lah yang patut dipertanyakan. Masih mending, saat SBY menjabat dulu, ada kesepakatan untuk anggota keluarganya berpolitik praktis dengan maju dalam sebuah pilkada. Penghakiman pelanggaran etika memang tergantung dari sisi mana dia melihat, sehingga menjadikan sebuah pihak terkesan tidak melanggar. Benar apa yang ditulis, “watak parpol yang sentralistik dan oligarkis ini tentunya sangat terlihat dalam proses wewenang yang nyaris mutlak untuk menentukan baik calon maupun pasangan calon dalam pilkada, tanpa harus berkonsultasi atau berdialog dengan konstituennya. Satu contoh, keputusan daerah atau cabang suatu parpol terkait penentuan calon dan pasangan calon dalam pilkada dapat semena-mena ‘diterpedo’ oleh pimpinan pusatnya, Ketika calon yang diunggulkan daerah tidak sesuai dengan keputusan pimpinan pusatnya atau tidak berkenan di hati ketua umumnya. Padahal, bila ditilik lebih jauh, proses demokrasi harus dimulai dari parpol.” (Halaman 139).
Pada bagian terakhir, penulis ‘menamai’ dengan judul Menghadang Buaya Korupsi. Ada 5 tulisan. Dari Benarkah Korupsi sebuah Seni, Kolaborasi Elit Politik dan Pemodal Menyuburkan Praktik Korupsi, Perang Melawan Korupsi, Tiga Langkah Memperbaiki Republik Koruptor, dan Pajak dan Century.
Di tengah karut marut kondisi hukum politik di negeri ini, penulis masih menyisakan asa untuk memperbaikinya. Ini patut diapresiasi, di tengah masyarakat yang pesimistis akan nasib Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah babak belur, dan tidak membaiknya Lembaga lain, Kepolisian dan Kejaksaaan dalam upaya memberantas korupsi di negeri ini. Setiap ada pemerintahan baru, selalu ada harapan, meski harus bersiap berhadapan dengan realitas yang kejam, yang tidak sesuai harapan. Bisa jadi, lebih buruk dari pemerintahan sebelumnya. Melorotnya rangking pemberantaan korupsi menjadi bukti bahwa pemerintah tidak konser akan bidang hukum. Sebuah fakta yang menyakitkan.
Penulis, melalui tulisan Tiga Langkah Memperbaiki Republik Koruptor, menawarkan tida langkah untuk aktif bertindak, bekerja mendorong perbaikan. Pertama, dalam sektor kehidupan sosial-politik, harus dibangun suasana yang kondusif, lebih dinamis, transparan, dan demokratis, bukan saling “membunuh” (character assassination) satu sama lain. Kedua, pada aspek penyelenggaran negara, harus dibangun prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (clean and good governance). Terakhir, ketiga, pada aspek sosial budaya harus dibangun adanya persamaan dan kemitraan, berlandaskan pada pembangunan moralitas bangsa.
Secara umum, buku kecil ini sangat pantas dimiliki dan dibaca. Bisa jadi, dengan bentuk yang menyerupai buku saku ini, mudah dibawa ke mana-mana agar bisa dibaca setiap waktu. Sepertinya, penulis ingin “membuat resah” pembaca dengan mengungkapkan kenyataan, memberikan wacana, melempar kritik, sekaligus menyerahkan kepada pembaca, sikap dan Langkah apa yang mau diambil. Tetap diam, dan apatis terhadap kondisi negeri ini, ikut prihatin dan sekedar itu, atau bergerak dan melawan ketidakbenaran itu dengan perbaikan. Tidak perlu hal yang besar, cukup dari diri sendiri, dan lingkungannya. Satu kekuranganya, tulisan buku ini teramat kecil, sehingga pembaca harus sering memicingkan mata dan ini tentu saja cepat membuat lelah pembaca buku ini. Selebihnya, selamat berburu bukunya.(****)
Heru Setiyaka, bekerja pada sebuah perusahan konsultan media di Jakarta